Minggu, 20 Juli 2014

Hidden - Prologue by Iranti Mellinisa

(Note : Ini adalah kisah fiksi, tidak satu pun peristiwa ini benar-benar terjadi. karakter disini juga fiktif, begitu pula watak, tempat-tempat tertentu dan perusahaan, semua itu dibuat oleh penulis. namun, ini ide milik saya, jadi jangan mengcopy-menyebarluaskan cerita ini tanpa sepengetahuan penulis. I hope you enjoy! xx)

Tubuh kami begitu dekat, aku merasa napasnya mengipasi wajahku. Suhu meningkat pesat diruangan kecil ini karena rasa ketakutan dan kecemasan. Aku menyandarkan kepalaku di dinding, mengetahui setiap isi apartemenku akan di 'jajah' untuk mencari keberadaan kami berdua. Mereka akan mendobrak setiap kamar, sampai mereka menemukan tempat ini, satu-satunya yang terkunci dari dalam. Dan kemudian mereka tidak akan ragu untuk memecahkannya.

Aku merasa matanya menatap kearahku, matanya terlihat membara seperti laser yang seakan ingin membakar kulitku. Bahkan dalam keadaan gelap gulita dan berdesakan seperti ini, aku dapat melihat mata hijaunya.

"Apakah kau takut?"

Suaranya rendah--bergetar didalam keheningan. Aku mendongak, melihatnya.

"Bagaimana denganmu?" kataku balik bertanya.

Dia berpaling, menghela napas.

Tenggorokan ku kering, dan kulit ku lembab karena keringat.

"Maudy?"

Aku menatap matanya kembali.

"Aku ingin kau berjanji sesuatu padaku," Suaranya terdengar parau.

Aku mengangguk perlahan.

"Jika sesuatu terjadi disini...Aku ingin..." Dia mengambil napas. "Aku ingin kau menjalankan apa yang kuminta, oke?" Dia melihat kearahku.

aku mengerutkan keningku. "Apa maksudmu?"

"Aku ingin kau kembali ke New York, aku ingin kau melupakan aku."

Aku menggeleng. "Aku... Aku tidak bisa, Afgan."

"Kau harus melakukannya, Maudy, kau mengerti? Salah satu dari kita akan melakukan itu, aku ingin kau yang melakukannya," katanya dengan kasar.

Detak jantungku mempercepat. "Tidak," kataku. "Aku tidak akan berjanji untuk itu."

 "Kau harus melakukannya," katanya sambil menggeleng.  "Kau harus pergi dari sini dan jangan pernah kembali. Jangan datang mencari ku, dan--"

"Aku tidak akan melakukan itu!" aku memotongnya. Dia menutup mulutnya, rahangnya menegang. Aku menarik napas. "Jika sesuatu terjadi disini, kita harus menghadapinya berdua atau tidak sama sekali."

Dia menatapku keras. Napasnya tidak merata. Lehernya berkilau karena keringat.

Akhirnya dia berhenti menatapku, melihat kebawah.

 "Tidak semua hal sama seperti yang kau inginkan ," katanya setelah beberapa menit keheningan.  "Tidak semuanya terlihat sempurna--"

"Kita tidak bisa berpikir seperti itu," kataku. "Ini akan memisahkan kita, Gan."

"Apa yang terjadi jika aku melakukannya dan kau tidak?" aku berani bertanya.

Matanya menatapku. "Aku akan mati, berharap itu aku bukan kau,"

Dadaku terasa panas. Air mata hangat tiba-tiba terjatuh diatas pipiku.

"Berhenti berbicara seperti itu!" bentakku.

Dia tampak terkejut dengan nada kerasku, namun dia tidak mengatakan apa-apa.

"Semua yang ku katakan," ia mulai lagi. "Ini--"

 "Aku tahu persis apa yang kau katakan, dan aku ingin kau berhenti mengatakan itu!" Suara ku terdengar tinggi, hampir mendekati nada histeris.

Dia mengulurkan tangan dan meraih tanganku, kulit kasar telapak tangannya menyentuh telapak tanganku. Dia menggosok ibu jarinya di atas punggung tanganku. Aku mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku.

"Hanya berjanji," bisiknya. "Berjanjilah padaku, kau akan tetap bersembunyi."

aku tidak menjawab.

"Berbicaralah, Maudya." katanya. "Aku ingin tahu,"

Aku menelan ludah dan mengangguk. Jika ini adalah yang dia butuhkan, maka aku akan setuju untuk itu.

"Katakanlah," ia mempertegas.

"I'll stay Hidden," bisikku.

Bersamaan saat ia melangkah ke arahku menarikku ke dalam pelukannya, berdebar sengit terdengar dan pintu sebelah kami berdenyit menandakan ada orang yang datang.

---

1 komentar: