"You know why a Spider Lily is called the flower of separation?
It’s because the leaves and the flowers can never meet. The flowers can
only blossom when the leaves are all withered away. They miss one
another to grow the sprout and bloom the flowers, but in the end they
leave their yearning for each other and never unite. Isn’t it beautiful?
Even in death, they seem to miss each other like lovers." — The Bride of the Water God
Dunia adalah sebuah tempat yang kejam. Sebuah tempat dimana hidupmu
tidak pernah berakhir seindah cerita-cerita bahagia dalam dongeng,
sebuah tempat dimana impian dan harapanmu bisa dihancurkan dalam sekali
kedipan mata. Yah, dunia ini adalah tempat yang penuh kepalsuan dan
menyedihkan. Menyedihkan bagaimana seseorang menyuruhmu menjadi dirimu
sendiri, namun kemudian memandangmu dengan berbagai macam penilaian yang
menyakitkan ketika kau melakukannya. Menyedihkan bagaimana seseorang
memandangnya dengan berbagai macam penilaian yang menyakitkan karena
sikap yang kau tunjukkan di permukaan tanpa tahu alasan di balik sikap
yang kau tunjukkan itu. Menyedihkan bagaimana orang-orang dengan cepat
berubah secepat detik yang berlalu, dan bagaimana keadaan berbalik
selekas musim yang berganti. Menyedihkan bagaimana dalam waktu yang
sedemikian singkat, harapan dan impianmu padam seperti nyala sebatang
lilin yang berada di tengah badai.
Menyedihkan.
Yah, aku tahu. Aku tahu itu sejak lama. Dan karenanya aku menutup diri
dari dunia, tidak mau terpengaruh oleh kepalsuannya yang menyedihkan
meskipun aku tidak lagi memiliki apapun untuk dilindungi. Aku hanyalah
sebuah cangkang kosong tanpa harapan, tanpa impian dan tanpa bayangan
akan apa yang ada di hari esok. Aku telah terbiasa ditinggalkan, telah
terbiasa kesepian—terlalu terbiasa hingga kupikir aku tidak membutuhkan
siapapun lagi dalam hidupku, karena akhirnya sudah bisa ditebak dan akan
selalu sama ;
Aku akan selalu ditinggalkan.
Tapi kemudian orang itu datang. Dengan mudah dia bisa melihat
melewatiku dan kemudian, entah sejak kapan, dia berada di duniaku.
Lantas duniaku seperti diputarbalikkan, dengan cepat berubah hingga aku
tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku yang sebelumnya tanpa
kehadiran orang itu. Seperti dia selalu berada dalam hidupku dan kami
tidak pernah jadi orang asing sebelumnya.
Namun
kemudian, aku mendorongnya menjauh. Meskipun itu melukainya. Dan
meskipun itu juga melukaiku. Aku selalu percaya bahwa sesuatu yang bagus
akan selalu harus menemui sebuah akhir, dan di dunia yang kukenal
sekarang, tidak pernah ada akhir cerita yang bahagia.
Karena cerita yang bahagia tidak pernah berakhir.
Tertanda,
IM
Spesies Dino terbaru
Rabu, 04 Maret 2015
Minggu, 20 Juli 2014
HIDDEN - 1 by Iranti Mellinisa
4 bulan
sebelumnya
Aku duduk
bertengger di sofa kecil ku, menatap telepon.
Aku hampir
tidak punya waktu untuk membongkar sesuatu atau menempatkan sesuatu pada
tempatnya karena aku sudah lama menatap telepon sialan itu diam selama tiga puluh menit
terakhir. Aku baru saja sampai di apartemen baruku selama tiga jam, dan semua
yang telah saya lakukan adalah menunggu telepon bodoh ini berdering.
Mataku berpaling
ke jam. Ini enam lewat sepuluh. Bukankah mereka seharusnya menelepon pukul
enam?
Aku menghela
napas dan berdiri. Aku mungkin bisa membongkar barang untuk menghabiskan waktu.
Bersamaan saat
aku membuka kotak dan memegang beberapa pakaian
ku, deringan telepon ku berbunyi dan aku berlari untuk mengambil itu. Aku hampir melompati sofa,
sengaja mengetuk telepon ke tanah, mengucapkan "Shit" dan mulai
mengatur napas.
"Halo?"
Aku menjawab, berusaha terdengar profesional.
"Halo,
Miss Ayunda? Ini adalah Marion Johnson dari Crystal Publishing."
Hatiku melompat
ke tenggorokanku. "Ya, halo."
"Saya
menelepon untuk memberitahu Anda bahwa wawancara Anda berjalan sangat baik sore
tadi, dan Anda mendapat posisi. Selamat. " Wanita, Marion, di sisi lain
halus dan lugas.
Aku mencoba
untuk mencocokkan nada suaranya. "Terima kasih banyak," aku berhasil
mengatakan tanpa terdengar terlalu girang.
"Anda
mulai bekerja hari Senin, Anda akan diberi meja dan bertemu dengan bos, Bapak Chandra.
Saya berharap dapat melihat Anda di kantor. "
Dan dengan itu,
dia menutup telepon.
Aku pastikan
telepon ku aman terkunci sebelum melompat ke udara, menggapai-gapai sekitar
dalam tarian memutar kemenangan. Ini adalah pekerjaan yang telah ku impikan
sejak aku masih remaja, dan sekarang aku berhasil mendapatkannya.
Aku cepat-cepat
mengangkat telepon ku dan memanggil nomor Aaron.
"Aaron,"
Aku membesut telepon. “Aku mendapatkan
pekerjaan itu!"
Aku mendengar
dia mendesah. "Maudy, Sayang, aku di tempat kerja."
Aku langsung mendesah.
"Tapi ... aku mendapatkan pekerjaan itu. Pekerjaan yang aku inginkan…selama
ini."
"Dan aku
senang untuk itu," katanya. "Tapi aku benar-benar harus menjalankan,
panggilan tugas--"
"Baiklah,"
"Jangan
marah, Maudy. Aku akan mengajakmu keluar malam ini, bagaimana dengan itu?"
Senyum
kecil keluar dari wajahku.
"Oke."
"Sempurna.
Sampai nanti malam."
Aku meletakkan
telepon saya dan menghadapi tumpukan kotak yang berjejer apartemen saya. aku
mendesah dan mulai membongkar.
Aaron dan aku
telah berpacaran selama beberapa bulan sekarang. Dia bekerja sebagai petugas magang medis sembali ia menyelesaikan
sekolah kedokteran nya. Aku tidak menyalahkan dia karena tidak memiliki banyak
waktu untuk ku; pekerjaannya sangat penting dan sibuk. aku tahu dia akan
membagi waktu bagi ku; dia selalu begitu.
Saya menaruh
lembar aqua di tempat tidur dan mulai mengatur gambar ku yang berbeda dan pernak-pernik.
Sebuah gambar Aaron dan aku di lemari, bersama dengan gambar aku, ibu dan ayah.
Sebuah foto ku dan adikku berikutnya, kami berdua tersenyum di Central Park.
Aku merasa sesak di dadaku saat aku melihat foto itu. Itu sebelum semuanya
terjadi.
Aku terkejut
sendiri karena telah menyelesaikan membongkar kamarku, aku meletakkan tangan ku
pada pinggul. Jam mengatakan pukul delapan. Aaron, harus pergi sekarang.
Bersamaan saat
aku berpikir seperti ini, ada ketukan
cepat di pintu ku. Hatiku berdebar saat aku berjalan ke pintu, melemparkan senyum
di wajah ku, berharap untuk melihat Aaron.
Senyumku
memudar ketika aku menyadari itu bukan Aaron sama sekali. Sebaliknya, itu laki-laki
tinggi sekitar dua sampai tiga tahun lebih muda dari ku, dengan rambut ikal
gelap dan matanya yang hijau. Bibirnya yang mengerucut dengan ekspresi sedikit
kesal dan dia memakai t-shirt Rolling Stones putih dengan jeans hitam.
"Halo,"
kataku.
"Hai,"
katanya. Nadanya tajam, dan aku sedikit terkejut. "Aku melihat kau baru pindah
ke sini dan aku hanya ingin memberitahu bahwa aku akan sangat menghargai jika
kau tidak membuat keributan. "
"Aku ...
Aku tidak menyadari aku membuat keributan," kataku.
"Tidak,"
katanya. "Namun. Aku hanya memberitahu ini untuk kedepannya."
Aku mengerutkan
keningku. "Itu sedikit tidak perlu."
"Yeah,
well," tukasnya.
"Dengar, aku
tidak mengerti kenapa kau begitu--"
"Hanya menjaga
agar tidak ada keributan," ia menyela ku. Dia berbalik dan berjalan ke
seberang lorong, menghilang ke apartemen seberang itu.
Aku berdiri di
depan pintu beberapa saat sebelum kembali ke apartemen ku. Dia datang untuk
memberitahu ku agar tidak membuat keributan. Tidak ada "Selamat datang ke
gedung" atau "Selamat datang ke Portland." Hanya ... “Jangan ada
keributan."
Siapa dia? Dia
tidak memberitahu ku namanya atau apa pun.......
Saya kembali ke
kamarku, terus membongkar.
Telepon ku
berdering dari saku dan aku membawanya ke telingaku.
"Halo?"
"Maudy,
aku minta maaf, tapi mereka menelponku malam ini," kata Aaron. "Aku
berharap bisa mengajakmu keluar, tapi--"
"Oh."
Aku menghela napas. "Tidak apa-apa."
"Jangan
marah--"
"Tidak."
Aku membuat nada ku ceria, mengenakan senyum meskipun ia tidak bisa melihat.
Aaron terkekeh.
Aku menutup
telepon dan duduk di tempat tidur. Kurasa aku tinggal di apartemen malam ini.
Pikiran ku
kembali ke anak itu yang tinggal di seberang lorong. Mungkin aku harus pergi
dan bertanya kepadanya mengapa ia begitu kasar. Aku hampir tertawa karena
pikiran itu, tapi aku tahu aku tidak akan pernah cukup berani untuk benar-benar
mengatakan itu. Mungkin aku harus pergi dan memperkenalkan diri, dan
berpura-pura pertemuan kami sebelumnya tidak pernah terjadi? Itu akan tamah,
kan?
Aku mengambil
kunci ku dan berjalan di lorong, menjangkau dan mengetuk pintunya.
Ayunan pintu
terbuka, dan anak itu muncul, mulutnya menetap menjadi cemberut ketika matanya
melihat ku. Aku mengambil langkah mundur.
Sesuatu tentang
dia sedikit mengintimidasi ku serta mengganggu ku.
"Bisa ku
bantu?" Dia terkunci.
"Hai,"
kataku, sambil mengulurkan tangan ku untuk dia. "Aku Maudy Ayunda, aku
baru saja pindah di seberang lorong."
Dia menatap
tanganku sejenak. "Dan?" Dia mengatakan.
"Siapa
kau?" Tanyaku.
"Apa
urusan mu?"
"Yah, kita
tetangga."
"Apakah itu
berarti buat ku?"
"Aku ...
aku tidak tahu."
Dia memutar
matanya. "Fantastis."
Aku
menyilangkan tangan di depan dada, mencari jawaban. Ketika ia melihat bahwa
saya tidak punya, ia mulai menutup pintu.
"Tunggu!"
Kataku.
Pintu berhenti
dan dia menatapku penuh harap.
Aku menjatuhkan
tanganku ke samping ku. "Dan ... Aku kira kita tetangga sekarang."
"Tepat."
Dia mulai menutup pintu lagi, tapi kali ini aku mencapai dan menangkapnya.
"Dapatkah
kau setidaknya memberitahu ku nama kau?" Tanyaku.
Dia menatapku sejenak
sebelum menjawab. "Afgan," katanya. "Afgansyah Reza."
Dengan itu, ia menutup pintu.
Hidden - Prologue by Iranti Mellinisa
(Note : Ini adalah kisah fiksi, tidak satu pun peristiwa ini benar-benar terjadi. karakter disini juga fiktif, begitu pula watak, tempat-tempat tertentu dan perusahaan, semua itu dibuat oleh penulis. namun, ini ide milik saya, jadi jangan mengcopy-menyebarluaskan cerita ini tanpa sepengetahuan penulis. I hope you enjoy! xx)
Tubuh kami begitu dekat, aku merasa napasnya mengipasi wajahku. Suhu meningkat pesat diruangan kecil ini karena rasa ketakutan dan kecemasan. Aku menyandarkan kepalaku di dinding, mengetahui setiap isi apartemenku akan di 'jajah' untuk mencari keberadaan kami berdua. Mereka akan mendobrak setiap kamar, sampai mereka menemukan tempat ini, satu-satunya yang terkunci dari dalam. Dan kemudian mereka tidak akan ragu untuk memecahkannya.
Aku merasa matanya menatap kearahku, matanya terlihat membara seperti laser yang seakan ingin membakar kulitku. Bahkan dalam keadaan gelap gulita dan berdesakan seperti ini, aku dapat melihat mata hijaunya.
"Apakah kau takut?"
Suaranya rendah--bergetar didalam keheningan. Aku mendongak, melihatnya.
"Bagaimana denganmu?" kataku balik bertanya.
Dia berpaling, menghela napas.
Tenggorokan ku kering, dan kulit ku lembab karena keringat.
"Maudy?"
Aku menatap matanya kembali.
"Aku ingin kau berjanji sesuatu padaku," Suaranya terdengar parau.
Aku mengangguk perlahan.
"Jika sesuatu terjadi disini...Aku ingin..." Dia mengambil napas. "Aku ingin kau menjalankan apa yang kuminta, oke?" Dia melihat kearahku.
aku mengerutkan keningku. "Apa maksudmu?"
"Aku ingin kau kembali ke New York, aku ingin kau melupakan aku."
Aku menggeleng. "Aku... Aku tidak bisa, Afgan."
"Kau harus melakukannya, Maudy, kau mengerti? Salah satu dari kita akan melakukan itu, aku ingin kau yang melakukannya," katanya dengan kasar.
Detak jantungku mempercepat. "Tidak," kataku. "Aku tidak akan berjanji untuk itu."
"Kau harus melakukannya," katanya sambil menggeleng. "Kau harus pergi dari sini dan jangan pernah kembali. Jangan datang mencari ku, dan--"
"Aku tidak akan melakukan itu!" aku memotongnya. Dia menutup mulutnya, rahangnya menegang. Aku menarik napas. "Jika sesuatu terjadi disini, kita harus menghadapinya berdua atau tidak sama sekali."
Dia menatapku keras. Napasnya tidak merata. Lehernya berkilau karena keringat.
Akhirnya dia berhenti menatapku, melihat kebawah.
"Tidak semua hal sama seperti yang kau inginkan ," katanya setelah beberapa menit keheningan. "Tidak semuanya terlihat sempurna--"
"Kita tidak bisa berpikir seperti itu," kataku. "Ini akan memisahkan kita, Gan."
"Apa yang terjadi jika aku melakukannya dan kau tidak?" aku berani bertanya.
Matanya menatapku. "Aku akan mati, berharap itu aku bukan kau,"
Dadaku terasa panas. Air mata hangat tiba-tiba terjatuh diatas pipiku.
"Berhenti berbicara seperti itu!" bentakku.
Dia tampak terkejut dengan nada kerasku, namun dia tidak mengatakan apa-apa.
"Semua yang ku katakan," ia mulai lagi. "Ini--"
"Aku tahu persis apa yang kau katakan, dan aku ingin kau berhenti mengatakan itu!" Suara ku terdengar tinggi, hampir mendekati nada histeris.
Dia mengulurkan tangan dan meraih tanganku, kulit kasar telapak tangannya menyentuh telapak tanganku. Dia menggosok ibu jarinya di atas punggung tanganku. Aku mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku.
"Hanya berjanji," bisiknya. "Berjanjilah padaku, kau akan tetap bersembunyi."
aku tidak menjawab.
"Berbicaralah, Maudya." katanya. "Aku ingin tahu,"
Aku menelan ludah dan mengangguk. Jika ini adalah yang dia butuhkan, maka aku akan setuju untuk itu.
"Katakanlah," ia mempertegas.
"I'll stay Hidden," bisikku.
Bersamaan saat ia melangkah ke arahku menarikku ke dalam pelukannya, berdebar sengit terdengar dan pintu sebelah kami berdenyit menandakan ada orang yang datang.
---
Tubuh kami begitu dekat, aku merasa napasnya mengipasi wajahku. Suhu meningkat pesat diruangan kecil ini karena rasa ketakutan dan kecemasan. Aku menyandarkan kepalaku di dinding, mengetahui setiap isi apartemenku akan di 'jajah' untuk mencari keberadaan kami berdua. Mereka akan mendobrak setiap kamar, sampai mereka menemukan tempat ini, satu-satunya yang terkunci dari dalam. Dan kemudian mereka tidak akan ragu untuk memecahkannya.
Aku merasa matanya menatap kearahku, matanya terlihat membara seperti laser yang seakan ingin membakar kulitku. Bahkan dalam keadaan gelap gulita dan berdesakan seperti ini, aku dapat melihat mata hijaunya.
"Apakah kau takut?"
Suaranya rendah--bergetar didalam keheningan. Aku mendongak, melihatnya.
"Bagaimana denganmu?" kataku balik bertanya.
Dia berpaling, menghela napas.
Tenggorokan ku kering, dan kulit ku lembab karena keringat.
"Maudy?"
Aku menatap matanya kembali.
"Aku ingin kau berjanji sesuatu padaku," Suaranya terdengar parau.
Aku mengangguk perlahan.
"Jika sesuatu terjadi disini...Aku ingin..." Dia mengambil napas. "Aku ingin kau menjalankan apa yang kuminta, oke?" Dia melihat kearahku.
aku mengerutkan keningku. "Apa maksudmu?"
"Aku ingin kau kembali ke New York, aku ingin kau melupakan aku."
Aku menggeleng. "Aku... Aku tidak bisa, Afgan."
"Kau harus melakukannya, Maudy, kau mengerti? Salah satu dari kita akan melakukan itu, aku ingin kau yang melakukannya," katanya dengan kasar.
Detak jantungku mempercepat. "Tidak," kataku. "Aku tidak akan berjanji untuk itu."
"Kau harus melakukannya," katanya sambil menggeleng. "Kau harus pergi dari sini dan jangan pernah kembali. Jangan datang mencari ku, dan--"
"Aku tidak akan melakukan itu!" aku memotongnya. Dia menutup mulutnya, rahangnya menegang. Aku menarik napas. "Jika sesuatu terjadi disini, kita harus menghadapinya berdua atau tidak sama sekali."
Dia menatapku keras. Napasnya tidak merata. Lehernya berkilau karena keringat.
Akhirnya dia berhenti menatapku, melihat kebawah.
"Tidak semua hal sama seperti yang kau inginkan ," katanya setelah beberapa menit keheningan. "Tidak semuanya terlihat sempurna--"
"Kita tidak bisa berpikir seperti itu," kataku. "Ini akan memisahkan kita, Gan."
"Apa yang terjadi jika aku melakukannya dan kau tidak?" aku berani bertanya.
Matanya menatapku. "Aku akan mati, berharap itu aku bukan kau,"
Dadaku terasa panas. Air mata hangat tiba-tiba terjatuh diatas pipiku.
"Berhenti berbicara seperti itu!" bentakku.
Dia tampak terkejut dengan nada kerasku, namun dia tidak mengatakan apa-apa.
"Semua yang ku katakan," ia mulai lagi. "Ini--"
"Aku tahu persis apa yang kau katakan, dan aku ingin kau berhenti mengatakan itu!" Suara ku terdengar tinggi, hampir mendekati nada histeris.
Dia mengulurkan tangan dan meraih tanganku, kulit kasar telapak tangannya menyentuh telapak tanganku. Dia menggosok ibu jarinya di atas punggung tanganku. Aku mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku.
"Hanya berjanji," bisiknya. "Berjanjilah padaku, kau akan tetap bersembunyi."
aku tidak menjawab.
"Berbicaralah, Maudya." katanya. "Aku ingin tahu,"
Aku menelan ludah dan mengangguk. Jika ini adalah yang dia butuhkan, maka aku akan setuju untuk itu.
"Katakanlah," ia mempertegas.
"I'll stay Hidden," bisikku.
Bersamaan saat ia melangkah ke arahku menarikku ke dalam pelukannya, berdebar sengit terdengar dan pintu sebelah kami berdenyit menandakan ada orang yang datang.
---
Kamis, 06 Februari 2014
Just Give Me a Reason
Just Give Me a Reason
***
—Right from the start
You were a thief
You stole my heart
And I your willing victim—
Entah apa yang sekarang sedang ia pikirkan. Pulang pada larut malam, dan pergi
pada pagi-pagi sekali. Aku merasa ia benar-benar berubah. Usia pernikahan kami
baru menginjak 1 tahun, tapi sikapnya benar-benar berubah. Aku benar-benar tak
habis pikir, setiap malam ia selalu pulang dengan keadaan mabuk berat dan
setelah itu ia akan marah tidak jelas padaku. Jika aku bertanya apa yang salah
padanya, ia hanya menggeleng dan tersenyum. Aku tahu, senyuman itu hanya alat
untuk membuat aku tidak marah padanya. Entahlah, aku merasa ia sekarang tidak
benar-benar menyayangiku. Ia jarang sekali mencium keningku saat hendak tidur,
apalagi memberi ucapan selamat pagi dipagi hari.
Sebenarnya, aku ingin sekali bertanya padanya dengan serius. Tapi, aku takut.
Takut jika pertanyaanku malah menyinggungnya. Aku tahu ia adalah sosok
superstar yang jarang mempunyai waktu dirumah, tapi aku juga seorang penyanyi
yang selalu ikut dirinya, membantunya menyanyi dan membawakan lagu duets kita.
Tapi, sikap manisnya sekarang hanya ada di atas panggung. Setelah itu, ia
membiarkanku pulang sendiri bersama supir pribadinya dan ia entah pergi kemana.
Aku takut, aku takut hanya dipermainkan saja olehnya karena memang aku
mencintainya.
Hari ini, aku ikut ke konser kecilnya disalah satu gedung di Atlanta. Sebentar
lagi, aku akan menyanyikan lagu duetnya yang sebenarnya berduet dengan Carly
Rae Jepsen, tapi Carly memberikannya—maksudku membiarkan aku untuk menyanyikan
lagu duetnya bersama Harry. Lagu itu berjudul Beautiful. Aku yakin,
banyak yang sudah mengetahui lagu ini. Lagu ini memang sudah terbilang
lagu lama, sebelum ia bertemu denganku.
“And now, I know you are know that I will singing with my wife rite ? Okay,
here we go !
”
Intro lagu itu sudah di putar. Seperti biasa, aku berjalan keatas panggung
dengan senyumku. Para fansnya mulai berteriak-teriak dengan histeris. Entah itu
makian atau pujian, aku tak perduli. Aku sudah mendengar itu hampir 1 tahun
penuh.
I know, I know it’s been a while
I wonder where you are, and if you think of me
Sometimes, got you always on my mind
You know I had it rough, trying to forget you but
The more that I look around, the more I realize
You’re all i’m looking for
Mereka mulai berteriak kembali saat Harry mulai merangkul pundakku sambil
tersenyum. Aku harap, ini bukanlah rekayasa darinya. Senyuman tadi adalah
senyum tulus yang ia berikan padaku. Tapi nyatanya tidak, ia bukan Harryku
yang dulu.
Sometimes, got you always on my mind
You know I had it rough, trying to forget you but
The more that I look around, the more I realize
You’re all i’m looking for
Aku kembali melanjutkan part lagu ini. Dan Harry kembali berbuat hal manis
padaku, seperti mencium pipiku, menarik tanganku dengan lembut, tersenyum
padaku dan memelukku. Ia terus melakukan hal itu sampai bagian dirinya untuk
bernyanyi.
Just friends, the beginning of the end
How do we make sense
From we’re on our own
It’s like you’re the other half of me
I feel incomplete, I should’ve known
Nothing in the world compares to the feelings that we share
So not fair
***
—I let you see the parts of me
That weren’t all that pretty
And with every touch you fixed them—
“Kau mau kemana lagi Harry ? Membiarkan aku pulang sendiri di malam hari
sedangkan kau pergi entah kemana” Harry berbalik, sebenarnya ia hendak pergi.
Ia terlalu fokus terhadap ponselnya sampai-sampai ia lupa akan keberadaanku.
Ia menarik nafasnya jengah lalu berjalan mendekatiku. Ia
tersenyum padaku, senyum yang sangat jauh berbeda dengan senyumannya satu tahun
yang lalu. Senyumannya yang sekarang seperti senyuman yang ia paksakan untukku.
“Aku masih ada urusan penting—“
“Dengan beberapa botol beer atau vodka dan
sekumpulan minuman beralkohol lainnya ? Atau dengan sebuah club malam yang
mempunyai segudang wanita-wanita seksi, begitu ?” Aku melihat perbedaan raut
wajahnya sekarang. Ia seperti sedikit kaget, tapi ia berusaha menutupinya
dariku, my dear Harry I’ve known thats you are shocked when I say that
word.
“Kau ini berbicara apa ? Aku memang masih mempunyai urusan yang sangat penting”
Ujarnya. Aku mendengus kesal lalu menatapnya meminta penjelasannya—lagi. Harry
menggeleng kemudian menggenggam kananku lalu ia letakan di dadanya. “Apa kau
merasakannya ? Detak jantungku masih sama bergetar hebat saat kau berada
didekatku, sama seperti dulu. Jadi kumohon, berhentilah berfikiran negatif
tentangku” Matanya meminta permohonan padaku. Tapi, aku lelah. Aku lelah
menjadi Taylor yang sangat selalu sabar dan memaafkan Harry. Kali ini, aku
ingin kejujuran darinya, bukan bualan-bualannya lagi.
“Jika memang iya itu adalah urusan yang sangat penting, tapi mengapa setiap kau
pulang aku selalu saja mencium bau alkohol saat kau berbicara, dan pakaianmu
tercium seperti parfum wanita yang setiap harinya selalu sama.” Ia kembali
menghela nafasnya. Aku tahu ia berpura-pura lelah menghadapiku dan setelah itu
pergi begitu saja.
“Kau tahu ? Partner-partner kerjaku adalah orang-orang yang lebih tua dariku,
dan mereka selalu menawariku alkohol. Mana mungkin aku menolaknya ? Dan soal
parfum, bukankah itu bau parfummu ?”
“Jangan mencoba membohongiku dear. Aku tahu, jika mereka menawarkan
minuman beralkohol, kau tak akan mungkin mabuk berat. Dan aku kira kau sudah
lupa harum parfumku, itu bukan harum parfumku. Jadi tolong jangan berusaha
membohongiku Harry. Aku tahu, aku bukanlah seorang istri yang bisa
membahagiankanmu dengan memberi keturunan, aku belum memberi itu padamu. Dan
aku bukanlah sosok wanita yang seksi dan cantik seperti wanita-wanita di club
malam. Aku bukan mereka, jadi mungkin kau sudah bos—“
“Kau berbicara apa ?! Aku tahu kau belum memberiku seorang keturunan karena
tuhan belum menghendakinya ! Ah, sudahlah ! Berdebat denganmu disini hanya
membuang waktu pentingku. Kau pulang bersama Kenny. Kenny antar dia” Setelah
itu, Harry pergi begitu saja. Sudah kuduga, ia memang lebih mementingkan ‘urusan
pentingnya’daripada perasaanku.
***
—Now you’ve been talking in your sleep
Things you never say to me
Tell me that you’ve had enough
Of our love, our love—
Hari ini aku tidak ikut ke acara Harry yang lainnya. Aku tidak mau mengganggu
waktunya dan aku juga sebenarnya sedang tidak mau membuat drama diatas
panggung. Aku lelah. Tadi malam, Harry pulang dengan keadaan yang sangat berantakan.
Rambutnya tidak tertata, bajunya berantakan, nafasnya berbau alkohol dan
jaketnya tercium wangi parfum wanita itu lagi. Aku sudah lelah dengan semua
ini, aku memang bukan wanita yang sempurna dimata Harry. Lantas, atas dasar apa
ia menikahiku ?
Jam sudah menunjukan jam 10 malam. Jadwal Harry hari ini telah berakhir, ia
seharusnya akan pulang jam setengah 11 malam. Tapi, mungkin karena urusan
pentingnya, ia akan pulang jam 2 malam. Aku sudah tak perduli. Ia akan pulang
jam 3 malam pun aku sudah tak perduli. Aku sudah lelah, jadi untuk apa
memperdulikan Harry lagi disaat Harry telah tidak memperdulikanku ?
Aku sedang membaca novelku diatas tempat tidurku. Aku belum bisa tertidur saat
ini, dan satu-satunya hal yang membuatku mengantuk adalah membaca novelku. Aku
terus membaca novel ini lalu terdengar suara pintu kamarku terbuka. Aku sama
sekali tak mau mengalihkan pandanganku dari Novelku, tidak sama sekali.
“Aku pulang di jam yang kau inginkan” Ujarnya pelan. Aku meliriknya, lalu
kembali fokus pada novelku. Haha, aku sudah tahu permainannya. Ia seperti ini
saat ini, tapi akan berulah lagi ke-esokan harinya.
“Aku tak memintanya” Ujarku tanpa mengalihkan pandanganku dari novel yang sedang
ku baca. Aku bisa mendengar suara helaan nafas dari Harry. Lalu ujung mataku
melihatnya berjalan dengan menenteng jaket kulitnya ke kamar mandi. Setelah itu
aku memutuskan untuk tidur. Aku menaruh novelku dan mematikan lampu duduk
dimeja. Kubiarkan lampu lainnya menyala, karena aku tahu Harry takut kegelapan.
Dengan cepat, aku menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhku.
Kasurku terasa bergetar dan aku sudah mengetahuinya, pasti Harry telah naik
keatas kasur. Aku mencoba tidak perduli saat tangan kekarnya melingkar
disekeliling tubuhku.
“Im sorry, I dont understand you” Bisiknya kecil ditelingaku. Aku masih menutup
mataku mencoba tak perduli. Tapi nyatanya, air mataku tak bisa ku tahan. Aku
mengeluarkan air mataku untuk kesekian kalinya. Bukan—bukan karena Harry
meminta maaf, tapi Harry kembali berbohong. Aku tahu itu. Setiap ia pulang
ditengah malam, ia pasti berkata seperti itu. Aku telah bosan atas ucapannya
itu. Jadi, kuputuskan untuk tertidur membiarkan air mataku yang masih mengalir.
***
Aku terbangun karena rasa haus yang benar-benar tak bisa ku tahan. Aku melirik
jam yang ada diatas meja, jam sudah menunjukan jam 1 malam. Kusingkirkan tangan
Harry yang melingkar di pinggang ku. Ku sibakan selimutku
lalu pergi beranjak kedapur untuk mengambil segelas air.
Author’s Point of View
Taylor kembali ke kamarnya setelah meminum segelas air dan itu memang membuat
rasa hausnya hilang seketika. Ia hendak menutup pintu, tiba-tiba Harry
berbicara dalam tidurnya. Taylor mencoba tak menghiraukannya. Tapi, kata yang Harry
ucapkan membuat Taylor tercengang .
“Selena” Taylor menutup mulutnya tak percaya. Benar apa yang ia rasakan
selama ini, Harry kembali mencintai mantan kekasihnya. “I love her” Air
matanya tak bisa ia tahan. Ia menatap Harry yang sedang tertidur tak percaya. Harry
baru saja mencampakkannya. Ini tak bisa dipercaya, Harry baru saja mengucapkan
nama mantan kekasihnya dalam tidurnya dan mengatakan bahwa ia mencintanya.
Dengan segera, Taylor kembali keluar dari kamar miliknya dan Harry. Ia menutup
pintu itu dan memilih pergi ke ruang tengah. Air matanya belum berhenti saat ia
sudah terduduk di sofa. Ia menangis. Bahunya naik turun, suaranya yang
terdengar sangat menyedihkan terdengar. Rambutnya yang begitu panjang ia
biarkan menutupi wajahnya yang mungkin telah memerah berusaha menahan
tangisnya. Ia—ia begitu lelah menahan semua keluh kesahnya dari Harry. Ini
sudah tak bisa dibiarkan, ia tak mau merasa sakit yang lebih jauh lagi. Ia
ingin berpisah dengan Harry—secepatnnya.
***
Hari ini Taylor diminta untuk ikut pergi ke salah satu acara Harry. Tetapi, Taylor
sama sekali tidak membuka suaranya jika Harry mengajaknya bicara. Taylor merasa
enggan untk berbicara pada Harry. Untuk apa mengajak Harry berbicara lalu ia
menjawabnya dengan kebohongan lagi ?
“Taylor, ikutlah ke panggung
bersamaku” Tiba-tiba suara Harry terdengar. Taylor yang sedang duduk diatas
sofa dibelakang panggung acara Harry diadakan. Taylor mendokakkan kepalanya
dari novel yang sedang dibacanya. Manik matanya dapat melihat pancaran
permohonan dari mata Harry. Taylor menghela nafasnya lalu menggeleng. Harry
tersentak saat menyadari bahwa Taylor baru saja menolak ajakkannya. Sebenarnya
ada apa ini ?
“Kau ini kenapa ? Kau berbeda hari ini, katakan apa salahku dan aku akan
meminta maaf padamu. Tolong jangan mendiamiku seperti ini” Harry berucap lalu
duduk disebelah Taylor. Dengan gerakan cepat, Taylor menggeser duduknya menjauh
dari Harry.
“Coba pikirkan apa salahmu, dan setelah itu kau datang padaku lalu meminta
maaf. Kau harus cari tahu sendiri alasannya Harry, karena ini semua ulahmu” Taylor
bangkit dari duduknya lalu meninggalkan Harry begitu saja yang masih menatap
tak percaya kearah Taylor.
Tanpa bisa dicegah, air mata Taylor turun begitu saja. Ia terlalu merasa
kasihan melihat mimik muka Harry yang begitu kebingungan. Tapi, Taylor sudah
lelah menjadi Taylor yang tabah menghadapi sikap Harry yang masih seperti
anak-anak.
Taylor terduduk di ruang make-up artis. Karena Harry adalah tamu acara ini,
jadi ruangan ini akan menjadi miliknya untuk beberapa jam kedepan.
Taylor menghempaskan tubuhnya ke sofa yang empuk. Ia menghela nafasnya, mencoba
menahan air matanya untuk keluar lebih banyak. Tapi, tidak bisa. Ia tidak bisa
melakukannya. Ia tetap menangis. Punggungnya naik turun seiring deru nafasnnya.
Kedua tangannya menutupi wajahnya yang—mungkin telah memerah akibat menangis.
Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu. Dengan segera ia mengambil ponselnya yang
berada dalam tasnya. Ia menekan beberapa digit nomor dari ponselnya dan
men-dialnya.
“Mom, Aku ingin bercerai dari Harry”
***
—Just give me a reason, Just a little bit is enough
Just a second were not broken just bent,
And we can learn to love again—
“Madamme Lorraine !” Seru Taylor. Madamme Lorraine menolehkan pandangannya
kearah suara. Senyumnya mengembang saat mengetahui siapa yang datang. Ia
melepaskan selang airnya dan berjalan menghampiri Taylor yang masih berdiri
didekat mobilnya. Madamme Lorraine membuka kedua tangannya dan langsung memeluk
Taylor.
“Apa kabar Ann? Sudah lama sekali kau tidak datang ketempatku. Mana Harry ?”
Tanya Madamme Lorraine. Taylor melepaskan pelukan madamme Lorraine dan mendesah
berat.
“Aku tidak pergi bersama Harry, dan mungkin sebentar lagi kami akan bercerai”
Ujar Taylor lemah. Mata madamme Lorraine membulat kaget.
“Lebih baik kau masuk dan bicarakan semua perkaramu padaku” Madamme Lorraine
mengajak Taylor masuk kedalam yayasannya. Ya, Madamme Lorraine adalah pemilik
panti asuhan dipinggiran kota. Sewaktu masih berpacaran, Taylor dan Harry
sangat sering mengunjungi panti asuhan ini, setelah menikah mereka jarang
memiliki waktu untuk pergi ketempat madamme Lorraine. Anak-anak disini pun
sudah mengenal Taylor, jadi tidak usah aneh jika mereka bermanja-manja dengan Taylor
ataupun Harry.
Taylor masuk kedalam panti dengan membawa sekardus makanan ringan, semacam
coklat, waffer, biskuit, kola dan snack yang lainnya.
“Lihat siapa yang datang children !” Seru madamme Lorraine.
Anak-anak itu langsung meninggalkan aktifitasnya dan langsung menoleh. Teriakan
kesenangan mereka tak bisa dihindari, mereka berteriak kegirangan akan
kehadiran Taylor disana, dan juga karena Taylor membawa sekardus makanan ringan
kesukaan mereka.
Taylor tertawa lepas seakan lupa akan masalahnya dengan Harry. Ia dengan
semangat bercanda gurau dengan anak-anak ini.
“Taylor, jika aku besar aku ingin menjadi dirimu !” Seru seorang anak
perempuan. Taylor menoleh lalu tersenyum. Satu tangannya terangkat untuk
membelai rambut anak itu dengan sayang.
“Kenapa ?”
“Karena kau cantik, pintar bernyanyi, baik hati dan memiliki Harry ! Oh ya,
dimana Harry ?” Taylor tertegun akan pertanyaan yang dilontarkan oleh gadis
kecil itu.
Untung saja madamme Lorraine mengalihkan pembicaraan itu dan mengajak Taylor
pergi ketaman belakang, “Sudah dulu ya, Taylor dan madamme masih ada urusan
penting ditaman belakang” Anak-anak itu mendesah kecewa, tapi sedetik kemudian
mereka bermain kembali.
***
“Sebenarnya ada apa denganmu dan Harry ?” Taylor menceritakan semua masalahnya
kepada Madamme Lorraine. Dari masalah awal, sampai masalah tadi. Taylor
menceritakannya dengan penuh emosi yang mengumpul di ubun-ubunnya. Ia mencoba
menahan tangisnya, tapi tetap saja tidak bisa. Air mata sialan itu turun lagi
dari kedua bola mata indah Taylor. Biasanya, Harry akan menghapus air mata itu
dan berjanji akan selalu menghapus air matanya mana kala Taylor bersedih. Tapi,
Harry kini sudah seperti tidak perduli lagi. Tak ada lagi yang menghapus air
mata Taylor saat ia bersedih.
Taylor menghembuskan nafasnya, ia memberi sedikit jeda dari ceritanya itu. Rasa
sakit didadannya sudah tak dapat ditahan lagi. Jika Taylor adalah bom, mungkin
ia sudah meledak sedari tadi. “Bercerai bukanlah jalan keluar Taylor. Itu hanya
mempersulit masalahmu. Your relationship is not broken, their just bent.
Masalah ini bisa dibicarakan baik-baik”
Taylor menggeleng tidak setuju, ia segera menghapus air matanya dengan kasar,
“Aku sudah beberapaka kali membicarakannya baik-baik, tapi ia tak mau mengerti.
Seperti orang bodoh yang kehilangan akal sehatnya. Ia akan marah besar jika aku
membicarakan masalah itu”
“Itu semua adalah masalah waktu. Kau seharusnya cari waktu yang tepat untuk
membicarakannya bersama Harry, diwaktu senggang, diwaktu berdua. Jangan diwaktu
saat ia baru pulang. Pantas saja ia marah besar, ia terlalu lelah”
“Madamme, kau tidak tahu bagaimana—“
“Aku tahu. Aku tahu perasaanmu. Aku juga pernah mengalaminya. Setiap orang yang
berumah tangga pasti pernah mengalaminya. Aku pernah bertengkar hebat dengan
suamiku, tapi saat kami membicarakaannya baik-baik, kami saling jujur, kami
saling menghargai pendapat, kami saling mengerti semua itu selesai. Tidak ada
sebuah keluarga tanpa masalah, tidak ada Taylor. Kau hanya harus belajar, kau
harus belajar bagaimana menyelesaikan masalah itu. Kau masih muda, Harry masih
muda, kau bisa membicarakannya baik-baik. Coba bayangkan diwaktu kalian masih
berpacaran, saling mencintai dan berpegangan tangan, anggap kalian itu ada
dimasa-masa berpacaran. Hanya itu”
“Apapun kendalanya, aku akan tetap menceraikannya. Aku lelah, dan tekadku telah
bulat. Terimakasih Madamme atas bimbingannya.” Taylor beranjak meninggalkan
madamme Lorraine. Madamme Lorraine hanya bisa menatap kepergian Taylor, lalu ia
berdecak dan menggeleng-geleng.
“Pasangan muda” desisnya. Lalu ia masuk kedalam yayasan dan membiarkan Taylor
pergi dengan mobil pribadinya.
***
Harry’s Point of View
Aku menggenggam keras setir mobil ini. Kulajukan mobil ini diatas rata-rata.
Aku akan mencari Taylor, aku akan berusaha berbicara padanya. Disisi lain, aku
masih bingung akan ucapannya. Aku harus mencari salahku sendiri, dan akupun tak
tahu dimana letak salahku. Aku mendengus kesal. Saat traffic light menunjukan
tanda merah dan hijau untuk pejalan kaki, ku ambil ponselku dan mencoba
menghubunginya. Gagal. Kucoba kembali. Gagal. Sial ! Ia baru saja mematikan
ponselnya. Dengan gerakan cepat ku kirimi ia sebuah pesan singkat,
To :
TaylorBoo
Just give me a reason, give me a clue. Im sorry
Taylor, I hurt you. But really,I didn’t meant it , I still love you ! Texted me
back as soon as possible, tell me where are you. Love You xxxxxxx
Send!
Tidak sampai 5 menit balasan dari Taylor pun sampai. Ternyata ia
menyalakan ponselnya kembali.
From : TaylorBoo
I dont have a clue to tell. I will not give you
my reason. Just find by yourself. And Im sorry, I will not tell you where
I am. I just need a private time. Sorry.
Aku mendesah kesal lalu melempar ponselku kebangku sebelah. Taylor
baru saja mengirim pesan singkat tanpa ada kata-kata manis, dingin. Astaga,
sekarang aku benar-benar merasa seperti seorang bajingan. Bisa-bisanya aku
membuat seorang wanita meneteskan air matanya sedangkan aku tidak bisa
menghampuskan air matanya.
Tiba-tiba aku teringat pada sesuatu, biasanya Taylor selalu
pergi ke panti milik Madamme Lorraine. Dengan gerakan cepat aku mengambil
ponselku lagi dan menelefon madamme Lorraine.
“Halo Madamme ?”
“Hai Harry ? Ada apa menelofonku ?”
“Madamme Lorraine, apa Taylor bersamamu ?”
“Oh ya, setengah jam yang lalu. Sebenarnya ada masalah apa
kau dengan Taylor ? Tadi ia bercerita padaku sambil menangis” Aku menghela
nafas. Sudah kuduga, Taylor menangis karena ku.
“Ada sedikit masalah Madamme..” Aku mendesah perlahan, “Ya,
sebenarnya aku tak tahu apa salahku. Kalau begitu, aku mencari Taylor dulu.
Thank’s Madamme” Segera kumatikan sambungan telfonnya. Aku mendesah berat, Taylor
benar-benar membuatku gila.
***
Author’s Point of View
Taylor menghela nafas panjangnya, mencoba menahan isak tangisnya yang terus
keluar selama 15 menit terakhir. Taylor menangis saat mendapat pesan singkat
dari Harry, dan setelah Taylor membalasnya Harry sama sekali tidak membalasnya
lagi. Apalagi, setelah Taylor mengatakan bahwa ia tidak akan memberi tahunya
dimana keberadaannya sekarang, Harry tidak menelfonnya. Menanyainya dengan nada
khawatir dan kata-kata manis untuk merayu Taylor yang keluar dari bibirnya.
Tidak, Harry Styles tak melakukannya !
Kini Taylor tengah berada dikamar apartemen pribadinya. Cukup mudah untuk
ditemukan, tetapi Harry tidak mencarinya—kata lain ia sama sekali TIDAK
memperdulikannya. Taylor kembali terisak mengingat banyaknya kenangan manis
yang pernah mereka lewatkan. Taylor tidak sanggup jika ia harus melupakan Harry.
Taylor menghapus air matanya dengan kasar lalu beranjak dari tempat duduknya
saat ia mendengar suara bell yang dibunyikan dari luar. Taylor melihat siapa
yang datang dari kamera pengintai yang dipasang oleh pihak apartemen didepan
setiap kamar apartemen. Ia melihat Victoria Justice disana. Sahabatnya
sekaligus tempatnya ia berkeluh kesah tentang Harry.
Taylor segera membuka pintu apartemennya dan menghambur kepelukan Victoria. Ia
menangis dalam pelukan sahabatnya itu. Victoria mengelus rambut Taylor
menenangkannya, kemudia Victoria menutup pintu apartemen Taylor menggunakan
kakinya. Ia berjalan kearah sofa dan membiarkan Taylor yang masih menangis
dalam pelukannya. Isak tangisnya masih terdengar, punggungnya naik turun
seiring tangisannya.
“Victor, aku ingin pergi dari negara ini, aku ingin pergi dari kehidupannya !
Aku..aku—“
“Sssstt, mengeluh bukan cara untuk menyelesaikan masalah Taylor” Victoria kembali
berbicara. Taylor mengadahkan kepalanya menatap Victoria dengan sendu.
“Aku bukan mengeluh, tapi itu memang keinginanku Victor ! Aku ingin berpisah
dengannya. Aku terlalu lelah, aku lemah Victor ! Taylor yang kuat pergi entah
kemana. Aku tak mungkin bisa bertahan lagi.” Taylor masih terisak sampai
ponselnya berdering dengan nada yang berbeda. Taylor tahu, itu adalah Harry
karena ia memasang nada dering yang berbeda—nada dering yang special.
“Angkat” Perintah Victoria. Taylor lagi-lagi menghembuskan nafasnya kemudian ia
menekan tombol berwarna hijau untuk mengangkat panggilan itu.
“Taylor ! Dimana kau ? Kumohon, jangan buat aku khawatir. Aku—aku
benar-benar minta maaf. Maafkan aku Taylor, kumohon beritahu dimana
keberadaanmu—“
“Biarpun kau memohon sampai menangis, aku tak akan memberitahumu dimana
keberadaanku”
***
Sudah hampir 2 minggu lebih Taylor pergi dari rumah. Keadaan Harry benar-benar
berantakan sekarang. Ia seperti tak terurus, matanya merah, rambutnya yang
tidak tertata, badannya yang sedikit lebih kurus. Harry merasa tidak memiliki
gairah untuk hidup, ia benar-benar hancur. Keluarga dan teman-temannya sudah
beberapa kali membujuk Harry agar kembali beraktifitas, soal kepergian Taylor
biar pihak berwajib yang menanganinya. Tapi ia menggeleng, ia tetap bersikeras
mencari keberadaan Taylor saat ini. Ia tidak mau dunia mengetahui masalahnya
dengan Taylor. Masyarakat mengetahui bahwa hubungan mereka baik-baik saja dan Taylor
sedang jatuh sakit, mereka tak ada yang mengetahui bahwa sebenarnya Taylor
hilang bak ditiup angin.
Sedangkan itu, Taylor berada di pulau pribadinya—dan Harry. Bodohnya Harry, ia
tak pergi mencari Taylor kesana. Taylor selalu mematikan ponselnya pada jam-jam
tertentu yang biasanya Harry pakai untuk menghubunginya. Taylor merasa Harry
tidak benar-benar mencari atau merasa kehilangan. Buktinya, setelah tahu ponsel
Taylor tidak aktif pada jam-jam tertentu, Harry tidak menelfonnya diwaktu yang
lain, ia tidak mencarinya dengan sungguh-sungguh, tidak meminta pertolongan
pihak berwajib ataupun minta bantuan dari keluarga dan teman dekat.
Saat ini Harry masih meringkuk diatas tempat tidurnya, tak ada niattan untuk
bangkit dari tempat tidurnya, kepalanya terasa sangat sakit dan ia begitu
lapar—tetapi ia hanya ingin memakan makanan buatan Taylor, maka dari itu ia
jarang sekali makan.
Pintu berdecit dan perlahan terbuka. Munculah sesosok ‘wanita’ latin yang masuk
kedalamnya. Aroma parfum menyengat khas darinya menguar. Harry mengetahui siapa
yang datang lantas mendudukan badannya. Harry tidak biasanya bersikap seperti
ini, kedua orang tuanya datang pun ia tidak mau bangun. Astaga ada apa dengan Harry
?
“Harry kau sudah makan ? Maaf aku baru mengunjungimu hunny” Harry
mengangguk dan menepuk tempat disebelahnya agar wanita itu duduk disebelahnya.
Dengan bibir yang penuh dengan lipstick mencolok ia tersenyum lebar dan segera
duduk didekat Harry.
“Harry, jadi kapan kau berencana menikahiku ?” Harry membuka matanya kaget.
Menikah katanya ? Harry mendongkak dan menatap penuh tanya pada wanita
dihadapannya yang tengah menatapnya dengan tatapan anak anjingnya.
“Apa maksudmu Selena ?”
“Kau berjanji padaku akan terus bersamaku walaupun kau sudah menikah bukan ?
Dan itu artinya kau juga harus menikahiku !”
“Aku tak pernah berkata seperti itu padamu !” Selena tersentak. Nada bicara Harry
meninggi, ia tahu Harry tengah marah padanya. Dengan jurus seribu aktingnya ia
menangis dan itu membuat Harry salah tingkah.
“Kau tahu kan bahwa aku masih mencintaimu ?”
“Tapi aku telah memiliki istri, dan sekarang ia hilang. Aku tak mau menyakiti
dia”
“Persetan dengan Istrimu ! Taylor adalah gadis idiot yang tidak bisa memberimu
keturunan ! Ia mandul ! Ia hanya iblis yang—“
‘PLAK’
Kesabaran Harry telah habis, ia menampar gadis yang berada dihadapannya.
Matanya berkilat-kilat marah, nafasnya pun memburu.
“Jaga omonganmu Gomez ! Jika bukan karena kecelakaan bodoh itu dan
syarat-syarat iblismu aku tidak akan sudi berdekatan denganmu ! Lagipula,
kecelakaan 5 bulan silam hanya kecelakaan kecil, kau tidak terluka hanya memar
bukan ? Dan kau memberi syarat-syarat terkutukmu itu agar kau memaafkanmu dan
tidak akan lapor pada polisi ! BERKATMU, TAYLOR HILANG !” Harry masih menggeram
kesal. Memang, 5 bulan silam Harry tidak sengaja menabrak mobil yang sedang
dikendarai Selena karena Harry ingin segera pulang agar bertemu dengan Taylor. Harry
kelewat merindukannya. Selena memang terluka, tapi hanya luka benturan kecil
yang menyebabkan dahinya memar. Selena bertekad akan melapor pada polisi dan Harry
terlalu takut saat itu, jadi Harry memohon agar Selena tidak melaporkannya pada
polisi. Tapi dengan beberapa syarat terkutuk, 1. Setiap jam 10 malam Harry
harus mengunjungi Selena. 2. Harus menunggu sampai Selena tertidur
dipelukannya. 3. Harus membelikan sebucket bunga mawar setiap hari Jum’at. 4.
Harus menggunakan parfum Selena jika hendak pulang. Bodohnya Harry
mengangguk karena Taylor telah menelfonnya berkali-kali. Dan syarat itu
berkelangsungan, tetapi ancaman yang diberikan Selena bertambah besar. Ia
mengancam bunuh diri, ia mengancam akan menyebar luaskan foto berciuman
mereka—saat masih berpacaran yang belum diketahui siapapun, dan akan membunuh Taylor
secara perlahan dengan cara yang benar-benar menyakitkan batinnya. Hingga saat
ini, Harry benar-benar muak akan sikap Selena, ia terlalu lelah. Dan akibat
Selena juga, hubungannya dengan Taylor merenggang dan hampir putus ditengah
jalan.
“Aku akan bunuh—“
“Lakukan saja ! Aku tidak perduli !” Setelah itu Harry mengambil jaket dan
kunci mobilnya yang ada di meja tempat tidurnya. Ia menabrak tak perduli pada
Selena dengan keras. Selena menangis lagi dan lagi.
Harry mengendarai mobilnya dengan perasaan yang kesal. Tiba-tiba
ia teringat sesuatu,
“—pakaianmu tercium seperti parfum wanita yang setiap harinya
selalu sama.” Parfum Selena yang selalu disemprotkannya sesaat sebelum Harry
pulang.
“mengapa setiap kau pulang aku selalu saja mencium bau
alkohol saat kau berbicara ?” Selena selalu memberi alkohol pada minuman Harry
yang menyebabkan Harry mabuk berat.
Astaga, Harry benar-benar tidak peka ! Lihatlah, selama 2 minggu
terakhir, ia baru tahu kesalahannya sendiri. Taylor telah lelah menghadapi Harry. Shit,
Harry mengumpat lagi. Ia kembali mencoba menghubungi ponsel Taylor, tapi
hasilnya sambungannya malah tersambung ke voicemail Taylor.
“It’s Taylor Alison—I mean
Styles guys !
I cant answer your call, Just leave me a message after sound ‘bip’—OMG HARRY
STOP IT!”
‘bip
’
Harry tersenyum getir mendengar suara yang menyambungkannya ke
voicemail Taylor. Ia ingat betul saat Taylor membuat rekaman itu, Harry
menggelitikinya dan itu dibuat saat mereka masih berpacaran. Mereka sedang
memainkan Truth or Dare saat Jum’at malam dan Harry membuat
tantangan bahwa Taylor harus membuat pesan voicemail menggunakan nama Taylor Styles bukan Taylor Swift.
***
‘Hey baby. Aku tak tahu bahwa ini akan kau dengar atau tidak.
Tapi aku mohon, angkatlah telfonku. Aku sangat merindukanmu, aku rindu
masakanmu sayang. Pulanglah, I love you’
‘Babe, kau mendengarkanku ? Aku tak perduli
bahwa ini adalah voicemail kesejuta ku untukmu. Aku sangat merindukanmu, telfon
aku atau angkatlah telfonku. Love you’
‘Taylor, aku mohon angkatlah telfonku ! Aku
benar-benar merindukanmu, beri tahu keberadaanmu sayang. I miss you
soooooooooooo damn much ! Love you’
‘Gosh, Tayy please. Answer the call, Im so sorry. Aku sudah tahu
kesalahanku. Maafkan aku, kita bisa memperbaiki hubungan kita lagi, bukan ?
Love you !’
‘Hhhhh, Taylor. Aku akan mengadakan konser
selama 2 bulan. Mungkin kau akan pulang selama aku pergi, tapi ketahuilah aku
sudah mencarimu kemana-mana. Aku sangat merindukanmu ! Bye, much
looooooovvvveeee. Love you !’
Taylor kembali menangis mendengar serentetan kalimat-kalimat yang diucapkan Harry
yang masuk pada Voicemailnya. Taylor segera menghapus air matanya dengan kasar
dan pergi menuju dapur.
“Victor, kurasa aku ingin segera pulang” Victoria memberhentikan aktifitas
memotong sayurannya. Ia menatap sahabatnya yang sedang menangis, ada apa lagi?
“Kau yakin ? Bagaimana jika Harr—“
“Harry tidak akan ada dirumah selama 2 bulan, ia mengadakan konsernya lagi”
Victoria kemudian mengaguk dan menaruh pisaunya. Ia segera mengambil telfon
rumah dan mulai berbicara dengan seseorang. Taylor menghela nafas kemudian
mengetikan sesuatu di ponselnya. Setelah selesai mengetikan kata yang singkat
ia menekan tombolsend.
To :
My Styles
Hati-hati dijalan
***
Hati Harry berlonjak senang saat membaca serentetan kata sederhana dari Taylor.
Ini kali pertamanya mendapat pesan singkat dari Taylor setelah beberapa minggu Taylor
pergi dari rumah. Dengan hati yang masih kelewat senang ia menuliskan pesan
lagi untuk Taylor. Setelah menekan tombol send, ia tersenyum lebar. Kemudian ia
memasukan ponselnya kedalam saku celananya dan pergi mendorong koper
ditangannya.
“Kau yakin akan melakukan semua ini ?” Harry mendudukan bokongnya diatas tempat
duduk jet pribadinya. Ia melirik managernya yang sudah berada disebelahnya lalu
tersenyum dan mengangguk.
“Jika semua ini ku lakukan untuk Taylor, aku akan senang hati melakukannya”
***
1 MINGGU KEMUDIAN
Taylor’s Point of View
Hari ini aku akan menghadiri acara MTV music award dan
tentunya tanpa Harry. Aku diminta oleh bibi Alecia Moore atau yang lebih
dikenal sebagai P!NK untuk menyanyikan lagunya menggantikan
dirinya yang tak bisa hadir. Sebenarnya aku belum siap untuk pergi ke ajang
award seperti itu, karena jika Harry yang menang maka akulah yang harus pergi
ke podium karena Harry tak bisa hadir seperti biasanya jika Harry tak bisa
hadir.
Sekarang aku sedang memoles—maksudku make-up artist ku sedang
memoles wajahku karena sebentar lagi acara itu dimulai. Aku akan menggunakan
baju rancanganDonatella Versache dengan gaya duyungnya, berwarna
putih dengan taburan payet berwarna perak yang akan berkerlap-kerlip jika
diterpa cahaya. Gaun yang sangat indah dan itu bukanlah pilihanku. Harry
mengirimnya dan memintaku untuk memakainya di ajang tersebut, aku tidak bisa
menolaknya karena aku setiap hari mengacuhkannya lewat telfon.
Aku meminta make-up artist ku untuk menggelung rambutku keatas
dan menyisakan anak rambut di kedua sisi wajahku. Sedikit memakai hiasan
dikepala. Rossie—make up artistku—tersenyum lalu menaruh beberapa peralatan
make-up nya diatas meja.
“Mungkin jika Harry berada disini, ia terpana melihatmu. Kau sungguh cantik Taylor”
Aku tersenyum membalas pujian Rossie. Rossie memang sangatlah baik, aku
mengakui itu. Tapi, apa memang benar jika Harry melihatku ia akan terpana atau
memujiku ? Ku pikir tidak, ia sudah tidak mencintaiku, ‘kan ?
“Terimakasih Rossie, aku harus pergi sekarang” Rossie mengangguk lalu ia
membereskan peralatan make-up nya dan memasuki ke dalam tas
khususnya. Aku sedikit mengangkat ekor duyung gaunku dan berjalan kebawah
dengan sangat perlahan. Jack—supirku—sudah berdiri diambang pintu. Ku ambil tas
selempang kecilku diatas meja yang sudah berisikan dompet dan ponselku
tentunya.
Jack menutup pintu mobil ini dengan perlahan. Aku kembali menghembuskan nafasku
mengingat Harry tidak akan berada disana. Biasanya, aku dan Harry selalu pergi
ke ajang penghargaan bersama dan berfoto diatas red carpet bersama.
Tapi, kembali lagi dengan realita. Hari ini aku akan berjalan di red carpet
sendiri sama seperti saat aku berumur 19 tahun. Maksudku, saat aku belum
mengenal Harry.
***
Aku sudah bersiap dibelakang panggung dengan stylist ku yang
hendak membenarkan tataan rambutku yang sedikit berantakan. Aku sedang
mempersiapkan diri untuk menyanyikan lagu bibi Alecia Moore yang dimintainya
sendiri. Aku menghela nafas saat Ryan Seacrest telah memanggil namaku dari atas
panggung dan beberapa Crewmengiringku keatas rangkaian besi
berbentuk Love yang akan menemaniku diatas panggung nanti.
Kemudian aku menutup mataku, menghela nafas dan...
Right from the start
You were a thief
You stole my heart
And I your willing victim
Aku membuka mataku dan melihat sekerumunan orang yang sedang menontonku disana.
Dan aku mencoba menghayati lagu ini.
I let you see the parts of me
That weren’t all that pretty
And with every touch
You fixed them
Aku ingat, saat aku membuka diriku pada Harry, memberi tahunya tentang
keburuk-keburukkan ku, dan dengan cintanya ia membenahinya. Aku ingat itu.
Tuhan tolong jangan buat aku menangis sekarang.
Now you’ve been talking in your sleep
Things you never say to me
Tell me that you’ve had enough
Of our love, our love
Aku menghembuskan nafasku lagi mengingat Harry pernah berbicara di tidurnya
tempo hari. Oh bibi Alecia Moore, mengapa kau menyiptakan lagu ini sama seperti
kisah hidupku ?
Just give me a reason
Just a little bit is enough
Just second we’re not broken just bent
And we can learn to love again
It’s in the stars
It’s been writen in the scars on our hearts
We’re not broken just bent
And we can learn to love again
Aku mengambil jeda sejenak, saat hendak menyanyikan bagian lagu berikutnya.
Sebenarnya ini adalah lagu duets, tapi bibi Alecia Moore menyuruhku
untuk menyanyikannya solo. Aku menutup mataku dengan perlahan mengambil nafas,
Im sorry I dont understand
Where all of this coming from
Aku membuka mataku kaget saat mendengar ada orang yang menyanyikan bagian
lainnya. Aku mencari sumber suara itu,
I thought that we were fine
(Oh we had everything)
Harry...
Your head is running wild again
My dear we still have everythin’
And it’s all in your mind
(Yeah but this is happenin’)
Aku mencoba menahan tangisku, Harry disini. Dia ada disini, membawa setangkai
mawar merah dengan senyum menawannya sama seperti dulu. Ia mendekatiku, ia
begitu tampan dengan tuxedo putih senada dengan gaunku saat ini. Ia memberikan
bunga itu sambil tersenyum dan aku tak bisa menahan air mataku !
You’ve been havin’ real bad dreams
You used to lie so close to me
There’s nothing more than empty sheets
Between our love, our love
Oh our love, our love
Kudengar riuh tepuk tangan dimana-mana. Karena mereka tahu, Harry sedang
menjalani tournya dan dengan ajaibnya dia berada disini, satu panggung
denganku, disebelahku dan tersenyum untukku.
Just give me a reason
Just a little bit is enough
Just second we’re not broken just bent
And we can learn to love again
I never stop
You still writen in the scars in my heart
You’re not broken just bent
And we can learn to love again
Oh tear ducts and rust
I’ll fix it for us
We’re collecting dust
But our love’s enough
You’re holding it in
You’re pouring a drink
No nothing is as bad as it seems
We’ll come clean
Kini aku benar-benar menangis dihadapannya yang sedang tersenyum sambil
memegang tanganku yang memegang setangkai mawar darinya.
Just give me a reason
Just a little bit is enough
Just second we’re not broken just bent
And we can learn to love again
It’s in the stars
It’s been writen in the scars on our hearts
We’re not broken just bent
And we can learn to love again
Just give me a reason
Just a little bit is enough
Just second we’re not broken just bent
And we can learn to love again
It’s in the stars
It’s been writen in the scars on our hearts
That we’re not broken just bent
And we can learn to love again
Oh, we can learn to love again
Oh,we can learn to love again
Oh oh, that we’re not broken just bent
And we can learn to love again
Dan aku berhasil membawakan lagu ini bersamanya, menangis diatas panggung
dengan iringan tepuk tangan riuh dari para penonton dan memberiku sebuah
standing applause. Tanpa bisa kutahan aku langsung memeluk Harry, menangis
didalam pelukannya. Ia mengelus punggungku, entah apa dia juga menangis atau
sedang tersenyum. Menghirup harum tubuhnya kuat-kuat, dan mempererat pelukanku.
“I love you” Harry mengatakan itu, ya dia menyatakan bahwa ia
mencintaiku.
***
“Jadi saat itu kau berbohong padaku bahwa kau ada tour selama 2 bulan ?!” Ia
terkekeh. Aku merengut kesal lalu ku pukul pelan lengannya yang sedang menjadi
bantalanku berbaring diatas bukit ini.
“Tapi, itu membuatmu mau memaafkanku” Ia mengendus lekukan leherku membuat aku
kegelian. Ia terkekeh, aku bisa merasakannya.
“Dan apakah kau yang menyuruh bibi Alecia Moore untuk menyuruhku menyanyikan
lagunya ?”
“Yup” Aku menatapnya dengan gemas. Ia hanya menampilkan sederetan giginya. Ia
mengesekkan ujung hidungnya di ujung hidungku masih sambil tersenyum. Ia
mendekatkan wajahnya pad wajahku berusaha menyatukan bibirnya dengan bibirku.
Ia sudah menutup matanya, dan aku juga menutup mataku. Sedetik kemudian, aku
merasakan bibirnya menekan bibirku, melumatnya dengan sangat lembut. Ia
tersenyum dalam ciuman ini. Aku tak perdulu, aku hanya ingin waktu tidak
bergulir dengan cepat karena aku tak mau kehilngan momen menakjubkan ini.
“Maaf soal kebodohanku A—“
“Ku mohon jangan bahas itu. Aku hanya ingin menikmati hari ini denganmu. I love
you” Ia tersenyum lebar lalu mengecup pipiku cepat.
“I love you more than you can imagine, Taylor Alison Swift—“
“Styles !” Lalu kami tertawa dan
kembali menatap indahnya langit malam diatas bukit.
Aku mencintainya, egoku tidak bisa mengalahkan rasa cintaku padanya. Hubungan
kita bukan hancur, hanya sedang sedikit terguncang dan pasti ada jalan
keluarnya. Dan saat ini, aku tak mau waktu berjalan, aku ingin saat ini waktu
berhenti dan merasakan dunia hanya milik kita berdua.
We’re
not broken just bent, and we can learn to love again.
Love,
Taylor Alison Swift—Styles
Langganan:
Postingan (Atom)